MAKALAH

Sabtu, 25 Juli 2009

Sosiologi Pedesaan

Posted by makalah | Sabtu, 25 Juli 2009 | Category: | 1 komentar

ABSTRAK
Komoditas pertanian tanaman pangan yang termasuk unggulan adalah padi ladang, kacang hijau, padi sawah, kacang tanah dan jagung. Kacang hijau merupakan komoditas strategis di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel, karena sifat agronomisnya yang relatif tahan kekeringan dengan umur panen yang pendek. Komoditas ini banyak dibudidayakan di lahan kering dan sebagian kecil di lahan sawah. Hasil kajian tahun 1998/1999 peningkatan pendapatan petani dengan relay meningkat 30%. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat petani. Metode yang digunakan adalah survai dan desk study data sekunder. Pengkajian dilakukan di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel selama dua tahun yaitu dimulai bulan Juni hingga Desember tahun 2009. Pengkajian menggunakan metoda survai dan desk study. Petani sampel ditentukan berdasarkan lokasi sentra komoditas unggulan tersebut di kabupaten. Penentuan petani responden dilakukan dengan cara purposive sampling, dengan jumlah responden 15 orang. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: a) tingkat produktivitas kacang hijau di timgkat usahatani masih sangat rendah berkisar antara 0,4 – 0,53 t/ha per musim, masih jauh lebih rendah dari produksi rataaan kabupaten dan propinsi masing-masing 0,546 t/ha dan 0,75 t/ha; b) tingkat keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat usahatani tahun 2003-2004 adalah berkisar antara Rp. 341.058,- hingga Rp. 1.271.487,-/ha/musim. Dengan tingkat keuntungan tersebut, usahatani kacang hijau belum dapat digunakan sebagai sumber pendapatan utama keluarga; c) pada tahun 2004 besarnya kenaikan produksi komoditas kacang hijau (24,01%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan luas areal (3,89%); d) pada tahun 2003 kenaikan produksi kacang hijau lebih dominan disebabkan peningkatan produktivitas (37,55%) dibandingkan peningkatan luas areal panen (7,28%); e) produktivitas dan tingkat keuntungan yang lebih memadai akan dicapai bila melakukan perbaikan teknologi budidaya dengan mengintorduksi varietas berpotensi hasil tinggi.





BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangbiakan buatan yang banyak dikenal oleh masyarakat lainnya adalah cangkok. Tanaman berkayu hampir semuanya dapat dicangkok dan pengerjaan cangkok sebenarnya sangat mudah, hanya saja perlu memperhatikan beberapa hal saja yaitu waktu mencangkok, pemilihan batang dan pemeliharaan cangkokan. Pilihlah batang yang tidak terlalu tua, kuat, subur dan tidak mengandung penyakit. Lebih bagus lagi bila banyak buahnya. Cangkok baik dilakukan pada saat musim penghujan. Selain cangkok, stek jugatermasuk perkembangbiakan buatan yang mudah untuk dilakukan.

Anda dapat memisahkan atau memotong beberapa bagian tanaman untuk menghasilkan bibit tanaman yang banyak dalam waktu singkat. Beberapa macam stek adalah stek akar untuk mengembangkan jambu biji, cemara, sukun, stek batang untuk kentang, ubi jalar, stek cabang untuk mangga, rambutan, jeruk, kopi, dan teh serta stek daun untuk begonia, sanseviera dan cocor bebek. Untuk anda yang menginginkan hasil perkembangbiakan yang hasilnya bagus dapat memilih okulasi untuk mengembangbiakkan tumbuhan.

Okulasi dapat dilakukan dengan menempelkan mata tunas diambil dari tanaman induk yang unggul dan ditempel ke tumbuhan yang berakar kuat. Sayangnya okulasi membutuhkan waktu lama untuk berhasil, kira-kira 12-24 bulan. Pilihan lainnya adalah sambung pucuk yaitu cara yang menempelkan batang induk untuk disambung dengan batang bawah yang ditanam dari biji. Untuk tanaman buah atau tanaman yang sulit dikembangbiakkan dengan cara lain, penyusuan merupakan cara yang paling cocok. Penyusuan dilakukan dengan cara menyambung 2 buah batang yang sama besar yang telah disayat miring dan diikat sampai kira-kira 3 minggu setelah itu ikatannya bisa dilepas.





Sampai saat ini perkembangbiakan tanaman berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi. Para peneliti di seluruh dunia menaruh perhatian khusus terhadap penelitian perkembangbiakan tanaman untuk menghasilkan tanaman baru supaya mendapatkan hasil tanaman yang terbaik. Penelitian di bidang pangan berupaya untuk menghasilkan tanaman pangan dengan kualitas nomor satu untuk mendapatkan bibit unggul. Generatifbibit tanaman yang terbaik dapat menjadi komoditas ekspor yang berujung dengan bertambahnya kas negara dari devisa yang dihasilkan. Kultur jaringan merupakan hasil dari perkembangan teknologi pertanian yang dapat menghasilkan bibit unggul serta varietas baru. Kultur jaringan juga dapat dilakukan untuk pelestarian jenis tanaman tertentu yang mulai langka. Kultur jaringan memerlukan pendidikan khusus yang dilatarbelakangi dengan pendidikan kimia dan biologi. Untuk melakukan kultur jaringan diperlukan media dengan berbagai bahan campuran seperti garam mineral, asam amino, gula vitamin dan hormone tumbuhan yang dilakukan dalam keadaan suci hama.

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan. Faktor genetis merupakan faktor yang terdapat dalam tanaman seperti benis, varietas, hormone serta lainnya. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor seperti keadaan tanah, iklim, cuaca, suhu, air dan udara. Seperti mahluk hidup lainnya, tanaman juga dapat beradaptasi dengan lingkungan serta perubahan-perubahan yang terjadi baik perubahan fisiologis, atau morfologis.

Tanaman sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap perubahan iklim, hama penyakit, absorbsi tanah serta pembatasan respirasi yang ditunjukkan dengan perubahan struktur tubuh tanaman tersebut. Adaptasi tanaman dapat berlangsung dengan baik bila tanaman dipindahkan dari tempat lain ke tempat yang kondisinya hampir serupa. Walaupun telah ada rekayasa pengetahuan dan teknologi namun supaya proses pertumbuhan tanaman dapat berlangsung dengan baik maka hendaknya jangan memindahkan tanaman ke tempat yang kondisinya benar-benar berbeda.




A. TANAMAN SECARA UMUM

vegetativeSeperti layaknya mahluk hidup lainnya, tanaman juga dapat berkembang biak. Perkembangbiakan tanaman secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu perkembangbiakan secara alami dan juga buatan.

Perkembangbiakan alami adalah perkembangbiakan tanaman oleh tanaman itu sendiri secara alami atau dibantu oleh alam. Sedangkan perkembangbiakan secara buatan adalah perkembangbiakan tanaman yang mendapat campur tangan manusia.

Tanaman berkembangbiak secara alami melalui berbagai macam cara. Tanaman berkembangbiak secara alami dengan 2 cara yaitu generatif dan vegetatif. Generatif adalah bahwa tanaman tersebut berkembang biak secar kawin, yaitu bertemunya sel jantan yang terdapat pada benang sari dan sel betina yang terdapat pada putik. Bertemunya 2 sel ini nantinya akan menghasilkan buah yang berbiji 2 yaitu dikotil. Tanaman yang dikembangbiakkan melalui cara ini biasanya memiliki sifat genetis yang berbeda dari tanaman induk dan biasanya mengalami kemunduran.

Perkembangbiakan secara vegetative dapat terbentuk dari sel jaringan nucellus, serta terbentuknya tanaman dari bagian bagian khusus yaitu umbi, rhizome, runner dan anakan. Perkembangbiakan dengan terbentuknya umbi juga terbagi menjadi beberapa cara yaitu umbi lapis seperti terbentuknya bawang dan bunga tulip, umbi sisik seperti terbentuknya bunga gladiol, umbi batang seperti terbentuknya kentang dan umbi akar seperti terbentuknya ubi jalar.

Perkembangbiakan secara vegetative alami dengan rizhoma terlihat pada terbentuknya jahe, sedangkan akar rimpang atau runner atau batang menjalar pada permukaan tanah adalah seperti terbentuknya strawberry.



Untuk perkembangbiakan dengan anakan contohnya nanas, pisang, salak, dan lidah buaya. Anakan yang telah tumbuh harus segera dipisah dari induknya dengan hati-hati supaya tidak merusak tanaman induk dan akar anakan tersebut.

Perkembangbiakan dengan campur tangan manusia adalah rundukan, cangkok, stek, okulasi, sambung pucuk, penyusuan dan kultur jaringan. Perkembangbiakan dengan rundukan adalah cara perkembangbiakan dengan cara membengkokkan cabang dan dibenamkan ke dalam tanah dengan melukai bagian cabang yang akan dibenamkan untuk mempercepeat tumbuhnya akar. Perkembangbiakan seperti ini adalah perkembangbiakan dari tanaman melati, jambu monyet dan ketimun.

B. TANAMAN KACANG HIJAU

Kacang hijau merupakan komoditas strategis di di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel karena sifat agronomisnya yang relatif tahan kekeringan dengan umur panen yang pendek.
Nilai strategis kacang hijau terletak pada kemampuannya sebagai tanaman penyelamat kegagalan panen dari tanaman sebelumnya seperti padi yang gagal panen akibat gangguan musim kering. Sifat kompetitif lainnya yang ditunjukkan adalah harganya relatif stabil dibanding kedelai yang di pasar bebas sering berfluktuasi harganya karena desakan kedelai asal impor. Hal tersebut didukung oleh pendapat Kasno (1990) yang menyatakan bahwa kelebihan kacang hijau ini terletak pada agronomis serta eknonomisnya. Kelebihan agronomi adalah ketahanannya terhadap kekeringan, berumur genjah (55 - 60 hari), cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah, hama penyakit relatif sedikit, tumbuh baik di tanah kurang subur, jenis tanah yang drainase kurang baik, cara budidaya mudah, resiko kegagalan panen secara total kecil dan harga jual relatif lebih tinggi dibanding kacang-kacangan lainnya.



Kacang hijau banyak dibudidayakan di lahan kering pada musim hujan dan di lahan sawah setelah padi pada musim kemarau II. Potensi lahan untuk pengembangan kacang hijau di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel yaitu di lahan kering yang berupa ladang dan tegalan. Tingkat produktivitas yang rendah dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanaman yang kurang intensif diantaranya belum menggunakan varietas unggul yang adaptif.
Berbagai teknologi telah diuji terutama yang berkaitan dengan adaptasi varietas kacang hijau serta pola tanam di lahan kering. Di lahan kering kacang hijau di tanam sebagai tanaman relay menjelang panen jagung.
Selama ini petani telah mengenal berbagai varietas yang sudah dilepas oleh pemerintah diantaranya yang beredar di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel seperti varietas Camar, Sriti, Walet, Betet, Kenari, Merak, dan Sampiong. Tujuan kajian ini adalah menganalisis keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat petani dan peluang pengembangannya di lahan kering.

C. KOMPETISI

Kompetisi dilakukan hijau di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel selama hari yaitu tanggal 16 Mei 2009. Pengkajian menggunakan Pengamatan Praktek. Petani sampel ditentukan berdasarkan lokasi sentra komoditas unggulan tersebut.
Data yang dikumpulkan meliputi Unsur hara, air, dan Cahaya Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung pada petani menggunakan bantuan kuesioner terstruktur. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif misalnya Jumlah daun dan Tinggi Tanaman.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau
Kacang hijau merupakan salah satu tanaman semusim yang berumur pendek (±60 hari). Tanaman ini disebut juga mungbean, green gram, atau golden gram. Dalam dunia tumbuh-tumbuhan tanaman ini diklasifikasikan sebagai berikut ini.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyldonae
Ordo : Rosales
Famili : Papilionaceae
Genus : Vigna
Spesies : Vigna Radiata atau Phaseolus Radiatus.
B. Morfologi Tanaman Kacang Hijau
Tanaman kacang hijau berbatang tegak dengan ketinggian sangat bervariasi, antara 30-60 cm, tergantung varietasnya.cabangnya menyamping pada batang utama, berbentuk bulat, dan berbulu. Warna batang dan cabangnya ada yang hijau ada yang ungu.



Daunnya trifoliate (terdiri dari tiga helaian) dan letaknya berseling. Tangkai daunnya cukup panjang, lebih panjang dari daunnya. Warna daunnya hijau muda sampai hijau tua.
Bunga kacang hijau berwarna kuning, tersusun dalam tandan, keluar pada cabang serta batang, dan dapat menyerbuk sendiri.
Polong kacang hijau berbentuk silendris dengan panjang antara 6-15 cm dan biasanya berbulu pendek. Sewaktu muda polong berwarna hijau dan setelah tua berwarna hitam atau cokelat. Setiap polong berisi 10-15 biji.
Biji kacang hijau lebih kecil disbanding biji kacang-kacangan lain. Warna bijinya kebanyakan hijau kusam atau hijau mengkilap, beberapa ada yang berwarna kuning, cokelat, dan hitam.
Tanaman kacang hijau berakar tunggang dengan akar cabang pada permukaan.
C. Syarat Tumbuh
Kacang hijau merupakan tanaman tropis yang menghendaki suasana panas selama hidupnya. Tanaman ini dapat ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Tanaman kacang hijau dapat tumbuh di daerah yang curah hujannya rendah dengan memanfaatkan sisa-sisa kelembapan pada tanah bekas tanaman yang diairi








2. 1 PROSPEK TANAMAN KACANG HIJAU

A. Kegunaan tanaman Kacang Hijau
pokok kacang hijau atau dalam bahasa Inggeris Mung bean mempunyai nama saintifil (latin) Phaseolus radiatus L. dari kumpulan Leguminoceae

Kacang hijau banyak ditanam di sawah dan ladang yang bertanah lembab dan cukup mendapatkan sinar matahari. Tumbuhan perdu berbatang basah ini tingginya mencapai 3 meter. Kacang hijau adalah tanaman pendek bercabang tegak. Bunganya berbentuk kupu-kupu dan berwarna kuning kehijauan atau kuning pucat. Dari bunga itulah terbentuk polongan yang berisi 10 - 15 biji kacang hijau.Kulitnya hijau berbiji putih dan sering dibuat kecambah atau tauge. Daunnya berbentuk segitiga menyirip.

B. Perkembangan Usaha Tani Kacang Hijau
Pada umumnya sebagian besar petani menanam kacang hijau di lahan sawah pada musim kemarau sehingga analisa usahatani dilakukan hanya untuk satu musim yaitu MK I 2004. Teknologi yang diterapkan masih sederhana seperti belum menggunakan pupuk tunggal, varietas lokal (samsik) dengan cara tanam disebar. Produktivitas kacang hijau masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel. Hal ini disebabkan karena pada fase pembungaan tanaman kekurangan air.
Komponen terbesar dari biaya usahatani kacang hijau adalah biaya tenaga kerja yaitu dari total penerimaan. Dilihat dari penggunaan saprodi, usahatani kacang hijau kurang intensif bahkan sebagian besar petani belum melakukan pemupukan. Komponen biaya saprodi yang relatif besar antara lain untuk biaya pestisida dan herbisida.









C. Pemasaran
Tanaman kacang hijau rentan terhadap serangan hama penyakit tanaman. Oleh karena itu petani harus mengeluarkan biaya yang besar untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman kacang hijau. Serangan hama penyakit lebih banyak terjadi pada musim hujan dan konsekuensinya biaya untuk obat-obatan lebih besar pada musim tersebut. Biaya untuk obat-obatan pada MH mencapai 111 ribu rupiah per hektar (5,10%), sedangkan pada MK mencapai 35 ribu rupiah per hektar (3,50%).
Pendapatan bersih atau keuntungan usahatani kacang hijau per hektar pada MK. 2002mencapai Rp. 210.290,-/ha dengan R/C 1,28, sementara pada MH. 2002/2003 mencapai Rp.1.258.410,-/ha dengan R/C 2,37Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kacang hijau dapat memberikan keuntungan bagi petani yang ditunjukkan oleh R/C lebih besar dari satu.
Bila produksi kacang hijau di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel dicapai paling tinggi pada MH, maka sebaliknya yang terjadi pada keadaan harga jual kacang hijau yang diterima petani. Harga jual tertinggi diperoleh pada penjualan produksi musim kemarau yaitu mencapai Rp 3090/kg, sedangkan pada musim hujan hanya mencapai Rp2964/kg. Dengan demikian hukum ekonomi berlaku disini, yaitu disaat suplai tinggi, ceteris paribus penawaran harga rendah dan sebaliknya. Meskipun demikian, pendapatan petani kacang hijau masih meningkat karena peningkatan produksi pada musim hujan relatif lebih tinggi dibandingkan penurunan harganya. Secara finansial analisa pendapatan usahatani kacang hijau per hektar selama dua musim di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel.











2. 2 KOMPETISI TANAMAN

A. Unsur Hara

Tiga diantara 10 macam unsur hara tersebut didapat dari udara dan air, yaitu: C (Carbon), H (Hydrogen), O (Oksigen). Sedangkan yang lainnya N (Nitrogen), P (Phosphor), K (Potassium), Ca (Calcium), Mg (Magnesium), S (Sulphur) dan Fe (Besi) diambil oleh tanaman dari dalam tanah sebagai media tumbuh.
Enam unsur hara tambahan ditetapkan sebagai unsur hara essential (penting) untuk pertumbuhan tanaman. Keenam unsur hara penting tersebut adalah Mn (Mangaan), Zn (Zinc), Cu (Tembaga), B (Boron), Mo (Molybden) dan Cl (Chlorine).

B. Air
Komponen ini sangat dibutuh setiap mahkluk hidup didunia dengan adanya air tanaman ini dapat hidup dan sebagai proses pertumbuhan dalam mekanismenya. Karena air merupakan kebutuhan vital bagi tanaman juga berfungsi membantu mengurangi atau menambah kesamaan tanah. Air membantu pelarutan garam-garam mineral yang sangat diperlukam oleh tumbuhan. Akar tumbuhan menyerap garam-garam mineral dari dalam tanah dalam bentuk larutan.
Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.

C. Cahaya
Dengan adanya cahaya segala aktivitas dan proses pertumbuhan makhluk hidup dibutuh dapat berjalan dengan baik. Tanpa cahaya tumbuhan ini tidak dapat melakukan perkembangbiakan secara baik dan sehat.




2.3 PERTUMBUHAN DAN PROSES PRODUKSI

Pertumbuhan, dalam arti terbatas, menunjuk pada perambahan ukuran yang tidak dapat balik, mencerminkan bertambahnya protoplasma, yang mencerminkan pertambahan protoplasma. Perkembangan, diartikan pada diferensiasi, suatu perubahan dalam tingkat lebih tinggi yang menyangkut spesialisasi dan organisasi secara anatomi dan fisiologi. Pertumbuhan tanaman ditunjukkan oleh pertambahan ukuran dan berat kering yang tidak dapat balik (Harjadi, 1988).















BAB III
M E T O D E
3.1 WAKTU DAN TEMPAT
Adapun pelaksanaan Praktek lapang ini dilaksanakan PAda :
Hari/ Tanggal : Sabtu, 16 Mei 2009
Tempat : Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kabupaten Takalar
Waktu : 10.00 – 12.00 WIB

3. 2 BAHAN DAN ALAT
Adapaun bahan dan alat yang digunakan diantaranya :
 cangkul,
 garu,
 garu tangan,
 bajak,
 landak, dan lain sebagainya.
3. 3 PELAKSANAAN
Dalam Kegiatan Praktek lapang ini dilaksanakan secara wawancara langsung terhadap Petani atau penggarap.





3. 4 PARAMETER PENGAMATAN
A. JUMLAH DAUN
 PENGAMATAN PERTAMA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 8
5,6
8, 5, 5 8
8,5
2, 5, 5 8
5,5
8, 5, 2 8
5,5
5

 PENGAMATAN KEDUA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 17
14, 14
14, 11, 11
16
14, 14
14, 14, 14
11
14, 14
14, 14, 11
15
14
13






 PENGAMATAN KETIGA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 26
20, 20
17, 17, 21
20
20, 17
17, 20, 17
17
17, 17
16, 11, 19 21
19
17

 PENGAMATAN KEEMPAT
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 29
23, 22
15, 14, 26
23
20, 20
21, 15, 15
17
17, 17
19, 11, 19 23
20
17









B. TINGGI TANAMAN
 PENGAMATAN PERTAMA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 10
12, 12
10, 10, 10
10
10, 12
12, 10, 10
10
10, 10
10, 10, 12
10
11
10,4

 PENGAMATAN KEDUA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 37
23, 26
30, 23, 25
32
29, 28
27, 26, 24
21
27, 24
22, 18, 14
30
26, 16
23,2







 PENGAMATAN KETIGA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 42
39, 28
28, 34, 35
37
35, 38
32, 33, 34
25
27, 25
23, 17, 26
34, 6
32
29,1

 PENGAMATAN KEEMPAT
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 41
40, 30
35, 34, 30
37
39, 39
32, 33, 34
25
28, 26
23, 19, 26
34,3
33,6
29,5

C . PRODUKSI
produksi kacang hijau di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel dicapai paling tinggi pada MH, maka sebaliknya yang terjadi pada keadaan harga jual kacang hijau yang diterima petani. Harga jual tertinggi diperoleh pada penjualan produksi musim kemarau yaitu mencapai Rp 3090/kg, sedangkan pada musim hujan hanya mencapai Rp2964/kg. Dengan demikian hukum ekonomi berlaku disini, yaitu disaat suplai tinggi, ceteris paribus penawaran harga rendah dan sebaliknya.


Meskipun demikian, pendapatan petani kacang hijau masih meningkat karena peningkatan produksi pada musim hujan relatif lebih tinggi dibandingkan penurunan harganya. Secara finansial analisa pendapatan usahatani kacang hijau per hektar selama dua musim di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel
D. BERAT TANAH/POLYBAY

NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 15
16
13,5 14,5
14
16,5 15,5
15
15












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL
Adapun dari Hasil Praktek lapang di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Sul-sel
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 8
5,6
8, 5, 5 8
8,5
2, 5, 5 8
5,5
8, 5, 2 8
5,5
5

 PENGAMATAN KEDUA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 17
14, 14
14, 11, 11
16
14, 14
14, 14, 14
11
14, 14
14, 14, 11
15
14
13






 PENGAMATAN KETIGA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 26
20, 20
17, 17, 21
20
20, 17
17, 20, 17
17
17, 17
16, 11, 19 21
19
17

 PENGAMATAN KEEMPAT
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. JUMLAH DAUN 1
2
3 29
23, 22
15, 14, 26
23
20, 20
21, 15, 15
17
17, 17
19, 11, 19 23
20
17








B. TINGGI TANAMAN
 PENGAMATAN PERTAMA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 10
12, 12
10, 10, 10
10
10, 12
12, 10, 10
10
10, 10
10, 10, 12
10
11
10,4

 PENGAMATAN KEDUA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 37
23, 26
30, 23, 25
32
29, 28
27, 26, 24
21
27, 24
22, 18, 14
30
26, 16
23,2







 PENGAMATAN KETIGA
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 42
39, 28
28, 34, 35
37
35, 38
32, 33, 34
25
27, 25
23, 17, 26
34, 6
32
29,1

 PENGAMATAN KEEMPAT
NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 41
40, 30
35, 34, 30
37
39, 39
32, 33, 34
25
28, 26
23, 19, 26
34,3
33,6
29,5








D. BERAT TANAH/POLYBAY

NO PENGAMATAN TANAMAN JUMLAH
TANAMAN ULANGAN RATA-RATA KET
I II III
1. TINGGI TANAMAN 1
2
3 15
16
13,5 14,5
14
16,5 15,5
15
15


4.2 PEMBAHASAN
A. TINGGI TANAMAN
Hasil hasil yang didapat dapat diketahui pertumbuhan Kacang hijau ini sangat cepat dari hari kehari, dan memiliki tinggi tanaman yang mencapai 40
B. JUMLAH DAUN
Jumlah daun pada tanaman kacang hijau ini memilki perkembngan yang jauh lebih cepat dari tinggi tanaman yang mana jumlha daunnya memiliki rata-rata 23
C. PRODUKSI
produksi kacang hijau di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel dicapai paling tinggi pada MH, maka sebaliknya yang terjadi pada keadaan harga jual kacang hijau yang diterima petani. Harga jual tertinggi diperoleh pada penjualan produksi musim kemarau yaitu mencapai Rp 3090/kg, sedangkan pada musim hujan hanya mencapai Rp2964/kg. Dengan demikian hukum ekonomi berlaku disini, yaitu disaat suplai tinggi, ceteris paribus penawaran harga rendah dan sebaliknya. Meskipun demikian, pendapatan petani kacang hijau masih meningkat karena peningkatan produksi pada musim hujan relatif lebih tinggi dibandingkan penurunan harganya. Secara finansial analisa pendapatan usahatani kacang hijau per hektar selama dua musim di Bonto Lebang Kec. Galesong Utara Kab. Takalar Prov. Sul-sel

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Produktivitas kacang hijau di tingkat petani masih sangat rendah berkisar antara 0,4-0,734 t/ha per musim, sedangkan tingkat keuntungannya berkisar antara Rp. 219.210,- hingga Rp.1.258.410,-/ha/musim.
2. Usahatani kacang hijau yang dilakukan pada musim hujan, dapat memberikan keuntungan yang cukup memadai bagi petani. Sementara pada musim kemarau dilahan sawah, keuntungan yang diperoleh masih belum cukup untuk menopang ekonomi keluarga.
3. Untuk meningkatkan produktivitas, upaya penerapan teknologi budidaya mutlak diperlukan. Teknologi tersebut antara lain penggunaan varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan preferensi konsumen.

5.2 Saran

Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan dapat disrankan sebagai berikut
1. Dalam pngamatan terutama pengukuran hendaknya stu orang saja yang mengukur agar tidak terjadi distorsi.
2. Pengaturan jumlah populasi lebih baik satu tanaman, dalam menanam jangan terlalu banyak populasi dan jarak tanam jangan terlalu sempit atau rapat.







DAFTAR PUSTAKA

Basuki, I., J. Abdulgani, A. Hipi, B.T.R. Erawati. 2000. Laporan Pengkajian SUP Jagung pada lahan kering tahun 1999/2000 di NTB. BPTP NTB, Mataram.
BPS. 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB, Mataram.
BPS, 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB, Mataram.
BPTP NTB. 2003. Komoditas Unggulan NTB. Laporan Tahunan 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, Mataram.
Dinas Pertanian NTB, 1999. Laporan Tahunan 1998. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I NTB. Mataram.
Fatmawati, Andi Apryani. 2007. Petunjuk Praktikum Dasar-dasar Agronomi. Jurusan Agronomi-Faperta Untirta. Serang.
Harjadi, M.M. Sri Setyati. 1988. Pengantar Agronomi. Gramedia: Jakarta.
Nyakpa, M. Yusuf, et al. 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas Lmpung. Lampung.
S, H. Soeprapto.1993. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya : Jakarta.
Tjirosoepomo, Gembong. 2004. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Irigasi

Posted by makalah | | Category: , , | 0 komentar

I. PENDAHULUAN

Menurut Kurnia dan Hidayat (2001), diperkirakan luas lahan kering yang mempunyai peluang untuk mendapatkan pengairan (irigasi) mencapai sekitar 32 juta hektar. Salah satu kendala produksi tanaman di lahan kering adalah terbatasnya air untuk tanaman, terutama pada musim kemarau. Kendala ini terutama untuk budidaya tanaman sayuran semusim seperti sawi, selada, kangkung, bayam, bawang daun, dan lain-lain. Karena itu, lahan kering khususnya di musim kemarau lebih banyak diistirahatkan (bera).
Irigasi untuk tanaman sayuran di lahan kering pada saat terjadi hari-hari kering sangat dibutuhkan. Namun menurut Pawitan (1999), kondisi sumberdaya air pada sebagian besar daerah di Indonesia telah memasuki pada tingkat waspada sampai tingkat kritis, sedangkan kebutuhan air di bidang pertanian dan bidang lainnya terus meningkat.Oleh karena itu, ketersediaan sumberdaya air yang terbatas harus dimanfaatkan secara hemat (efisien) dan efektif terutama dalam bidang pertanian.
Guna memanfaatkan jumlah air yang terbatas untuk budidaya tanaman sayuran di lahan kering diperlukan teknologi irigasi yang hemat air seperti irigasi tetes modern (komersial). Namun irigasi tetes modern (komersial) belum dapat diterapkan oleh petani karena harganya mahal yang belum terjangkau oleh petani, semua komponen-komponennya masih diimpor dan dalam pengoperasiannya diperlukan keahlian yang memadai. Menurut Prabowo, dkk. (2005) biaya investasi irigasi tetes modern kurang lebih Rp 25.137.000,00 per hektar dan biaya operasional Rp 1.988.084,00 per musim. Oleh karena itu, perlu dibangun irigasi tetes sederhana untuk tanaman sayuran semusim yang hemat air, biaya sangat murah yang dapat dijangkau petani, sederhana dan mudah dibuat, mudah dioperasikan, dan bahan/materialnya dapat memanfaatkan limbah berupa botol plastik bekas air mineral, sprite, fanta, dan coca-cola. Biaya pembuatan irigasi tetes sederhana ini diperkirakan Rp 2.250.000,-—Rp 2.500.000,- per hektar.
Penelitian irigasi hemat air dengan menggunakan campuran tanah liat, pasir, dan serbuk gergaji sebagai emiter irigasi yang berbentuk kendi telah dilakukan oleh Setiawan dan Edwar (1997), Setiawan (1998), Edwar (2000), Idrus, Suprapto, dan Maulana (2004), dan Idrus dkk.(2005).
Ukuran emiter kendi yang dibuat oleh Setiawan dan Edwar (1997), Setiawan (1998), Edwar (2000) yaitu tinggi ± 28 cm, tinggi badan ± 14 cm, diameter badan ± 14 cm, dan diameter leher kendi ± 7 cm. Sedangkan ukuran emiter kendi yang dibuat oleh Idrus dkk.
(2004) dan Idrus dkk. (2005) yaitu diameter kendi 5 cm, tinggi badan kendi 6 cm, tingi leher kendi 2 cm, dan tebal dinding kendi ± 0,5 cm..
Setiawan (1998) mengemukakan bahwa laju rembesan pada kendi dengan campuran bahan tanah liat 60%, pasir 20%, dan serbuk gergaji 20% diperoleh hasil rata-rata 0,088339 cm/jam atau rata-rata kumulatif rembesan 54,98 cm3/jam atau 1,28 l/hari. Jarak radial dan vertikal pembasahan dari dinding kendi dapat mencapai 25 cm dan 40 cm secara berturut-turut.
Idrus dkk (2004) melaporkan bahwa kendi dengan persentase campuran bahan 70% tanah liat, 15% pasir, dan 15% serbuk gergaji memberikan produktivitas air tanaman tomat yang tertinggi yaitu 41,21 kg produksi/ m3 air irigasi dibandingkan dengan persentase campuran bahan lainnya yang hanya berkisar 10,49—15,52 kg produksi/ m3 air irigasi, dan memberikan penghematan air sebesar 75% dibandingkan dengan penyiraman secara manual. Pemberian air tanaman semangka dengan menggunakan kendi irigasi dengan komposisi bahan tanah liat 55%, pasir 22,5%, dan serbuk gergaji 22,5% diperoleh hasil buah semangka rata-rata 5,93 kg per tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan komposisi bahan lainnya yang rata-rata hanya 3,51—4,40 kg per tanaman (Idrus, dkk., 2005).


Koefisien tanaman puncak untuk tanaman sawi dapat diperoleh dari Doorenbos dan Kassam (1979), yaitu 1,0. Jika laju evapotranspirasi potensial maksimum 6,0 mm/hari maka kebutuhan air puncak tanaman sawi diperoleh sebesar 6,0 mm/hari atau setara dengan 0,275 liter per hari.
Tujuan penelitian yaitu (1) Merancang dan membuat irigasi tetes sederhana untuk produksi sayuran semusim (sawi), (2) Mengukur kinerja irigasi tetes sederhana untuk produksi sayuran semusim yang meliputi laju debit air keluar emiter, diameter, kedalaman pembasahan dan distribusi kelembaban tanah di sekitar emiter, dan produktivitas air tanaman sayuran semusim (sawi), dan (3) Menentukan komposisi campuran bahan pembuatan emiter dan ketebalan dinding emiter sebagai komponen sistem irigasi yang baik untuk produksi tanaman sayuran semusim (sawi).










2. METODE
Bahan yang diperlukan terdiri dari besi plat setebal 3 mm, lem PVC, botol plastik bekas kapasitas 0,65 liter, besi bulat diameter 10 mm, 14 mm, dan 18 mm, tanah liat, serbuk gergaji, pasir, kayu bakar, tali rapia, benih sawi, pupuk kandang, pupuk urea, SP36, KCl, pestisida, bambu, dan plastik lembaran.
Alat yang diperlukan alat pencetak emiter, timbangan, pengayak diameter 2 mm, ember bak air, selang plastik, soil moisture tester, cangkul, sprayer, golok.

Perlakuan dan Analisis Data
Emiter dibuat dari campuran bahan tanah liat, pasir, dan serbuk gergaji dengan berbagai komposisi dan ketebalan dinding emiter dapat dilihat pada Tabel 1. Setiap kombinasi komposisi bahan dan ketebalan dinding emiter dibuat 5 buah emiter.
Analisis data meliputi debit air rata-rata emiter (laju rembesan air keluar emiter), diameter dan kedalaman pembasahan tanah di sekitar emiter, distribusi kelembaban tanah di sekitar emiter, dan produktivitas air tanaman sawi.
Debit air rata-rata emiter pada setiap komposisi bahan dan ketebalan dinding emiter dibandingkan dengan kebutuhan air tanaman sawi yaitu sebesar 0,275 liter/hari. Dari 21 unit perlakuan komposisi bahan + ketebalan dinding emiter akan dipilih 1 komposisi bahan + ketebalan dinding emiter yang memberikan debit air rata-rata emiter paling dekat dengan 0,275 liter/hari (kebutuhan air tanaman sawi).





Analisis data diameter dan kedalaman pembasahan tanah di sekitar emiter hanya dilakukan pada emiter dengan komposisi bahan + ketebalan dinding yang terpilih. Data ini penting untuk menentukan jarak tanam dan jumlah alat irigasi yang diperlukan untuk suatu komoditas sayuran semusim per luas pertanaman.



Tabel 1. Komposisi campuran bahan dan ketebalan dinding emitter


Komposisi (% berat basah)
No. Ketebalan dinding emiter
( mm) Tanah liat Pasir*) Serbuk gergaji*)

1 4 70 15 15
2 4 65 17,5 17,5
3 4 60 20 20
4 4 55 22,5 22,5
5 4 50 25 25
6 4 45 27,5 27,5
7 4 40 30 30


8 6 70 15 15
9 6 65 17,5 17,5
10 6 60 20 20
11 6 55 22,5 22,5
12 6 50 25 25
13 6 45 27,5 27,5
14 6 40 30 30


15 8 70 15 15
16 8 65 17,5 17,5
17 8 60 20 20
18 8 55 22,5 22,5
19 8 50 25 25
20 8 45 27,5 27,5
21 8 40 30 30
Keterangan : *) lolos ayakan 2 mm


Analisis data distribusi kelembaban tanah di sekitas emiter juga hanya dilakukan pada emiter yang terpilih. Analisis data ini penting untuk mengetahui apakah penyebaran kelemababan tanah di sekitar emiter masih berada pada kisaran keadaan kapasitas lapang atau kadar air tersedia bagi tanaman.
Analisis data bobot basah yang dihasilkan dari plot sistem irigasi tetes sederhana dibandingkan dengan yang dihasilkan dari plot kontrol yang disiram dengan gembor. Analisis produktivitas air tanaman sawi juga hanya dilakukan pada emiter yang terpilih. Produktivitas air tanaman sawi menunjukkan banyaknya kilogram sawi segar yang dihasilkan untuk setiap meter kubik air irigasi yang diberikan.


Produktivitas air tanama sawi dihasilkan

dari plot irigasi tetes sederhana dibandingkan dengan yang dihasilkan dari plot kontrol yang disiram dengan gembor.

Pelaksanaan Penelitian

Bagan alir pelaksanaan dapat dilihat pada Gambar 1.




Tanaman Sawi



Kebutuhan air, ETc (6 mm/hari atau 0,275 liter/hari)


Rancang Bangun Emiter Silinder Sistem Irigasi




Ketebalan Din- Komposisi Campuran Keseragaman Pen-
ding Emiter Bahan Pembuat Emiter campuran Bahan




Uji kinerja di lahan : Debit air emiter irigasi tetes sederhana
(laju resapan air keluar emiter)





Pilih irigasi tetes sederhana yang berkinerja dengan debit air emiter paling

Tidak dekat dengan kebutuhan air tanaman sawi (0,275 liter/hari)



Ya
Uji kenerja di laboratorium
Diameter dan kedalaman pembasahan tanah, distribusi kelembaban tanah di sekitar emiter




Uji kinerja di lahan : Produktivitas air tanaman sawi

dengan sistem irigasi tetes sederhana


Selesai




Gambar 1. Bagan alir prosedur






2. Pengujian kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Laboratorium
Pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium untuk memilih komposisi campuran bahan emiter dan ketebalan dinding emiter yang menghasilkan debit mendekati kebutuhan air 4 tanaman sawi sebesar 1,1 liter hari-1. Peubah yang diamati dalam pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium adalah debit air yang keluar emiter, kedalaman dan diameter pembasahan tanah di sekitar emiter.

3. Pengujian Kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Lahan
Pengujian irigasi tetes sederhana dilahan dengan tanaman indikator sawi cina (caisim). Benih sawi disemai dalam media semai dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Pada umur umur bibit sawi 10 hari dilakukan penanaman di bedengan dengan jarak tanam 20 cm antar barisan dan 10 cm dalam barisan. Bibit sawi di tanam di sekeliling alat irigasi tetes sederhana. Satu unit irigasi tetes sederhana mengairi 4 tanaman sawi. Tata letak tanaman sawi dan alat irigasi tetes sederhana di bedengan dapat dilihat pada Gambar 4.








Pupuk kandang diberikan sebanyak 10 kg/m2 yang ditaburkan secara merata bersamaan dengan pupuk Urea, Sp36, dan KCl masing-masing sebanyak 10, 15, 7.5 gram/m2 dan dibiarkan

± 7 hari sebelum tanam.
Pemberian air irigasi dilakukan melalui alat irigasi setiap hari pada sore hari dari setelah tanam sampai menjelang panen. Volume air yang diberikan setiap hari melalui air irigasi yaitu

0,6 liter.































































3. HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Rembesan Air Keluar Emiter
Pengujian laju rembesan air keluar emiter dilakukan di lapang (Gambar 9). Rata-rata laju rembesan air keluar emiter pada berbagai komposisi bahan dan ketebalan dinding emiter dapat dilihat Tabel 2.


Tabel 2. Rata-rata laju rembesan air keluar emiter (l/hari)



Komposisi Tebal dinding
(mm)
4 6 8
K1 0,960 0,820 0,610

K2 2,100 1,850 1,140

K3 2,432 1,952 1,356

K4 2,642 2,382 1,770

K5 3,524 2,842 2,198

K6 3,842 3,012 2,525

K7 4,625 3,739 2,968

Keterangan :




K1 = tanah liat 70% : pasir 15% : serbuk gergaji 15%
K2 = tanah liat 65% : pasir 17,5% : serbuk gergaji 17,5% K3 = tanah liat 60% : pasir 20% : serbuk gergaji 20%
K4 = tanah liat 55% : pasir 22,5% : serbuk gergaji 22,5% K5 = tanah liat 50% : pasir 25% : serbuk gergaji 25%
K6 = tanah liat 45% : pasir 27,5% : serbuk gergaji 27,5% K7 = tanah liat 40% : pasir 30% : serbuk gergaji 30%

Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin tebal dinding dan semakin tinggi persentase tanah liat bahan pembuat emiter maka laju rembesan air keluar emiter semakin menurun, hal ini karena semakin menurunnya jumlah pori pada dinding emiter. Selain itu, kadar air tanah di sekitar emiter juga mempengaruhi laju rembesan air keluar emiter.








Kebutuhan air tanaman sawi kurang lebih 0,275 liter perhari per tanaman. Tanaman sawi ditanam di sekitar emiter dengan jumlah 4 tanaman sawi per emiter. Hal ini berarti bahwa kebutuhan air 4 tanaman sawi sebesar 1,1 liter/hari yang harus dipasok dari emiter. Dengan demikian komposisi bahan dan tebal dinding emiter yang dipilih untuk memasok air sesuai dengan jumlah yang diperlukan adalah K2 (tanah liat 65% : 17,5% pasir : 17,5% serbuk gergaji) dan tebal dinding emiter 8 mm. Komposisi bahan dan tebal dinding emiter tersebut yang diuji di lahan untuk mengukur kinerja alat irigasi.




Diameter dan Kedalaman Pembasahan Tanah
Pengukuran diameter dan kedalaman pembasahan tanah di sekeliling emiter dilakukan di laboratorium di dalam kotak kaca berisi tanah yang telah digemburkan yang ditekan secara merata. Hasil pengukuran diameter dan kedalaman pembasahan tanah di sekeliling emiter dapat dilihat pada Tabel 3.



Tabel 3. Diameter dan kedalaman pembasahan emiter pada 3, 6, 12, dan 24 jam pengujian


Akhir jam ke Diameter pembasahan Kedalaman pembasahan
(cm) (cm)

3 23,50 20,0

6 26,85 27,0

12 30,25 29,0

24 30,52 29,4



Tabel 3 menunjukkan bahwa diameter pembasahan emiter dapat mencapai 30,52 cm dan kedalaman pembasahan 29,4 cm setelah pengujian berlangsung 24 jam. Dengan diameter dan kedalaman pembasahan tersebut alat irigasi ini dapat digunakan untuk tanaman yang berakar pendek seperti sayuran, dan mungkin juga dapat digunakan untuk tanaman semangka, melon, cabe, tomat, jagung manis yang tentunya perlu dilakukan pengujian untuk tanaman- tanaman tersebut.









Pola pembasahan tanah oleh emiter berbentukl seperti buah pir. Pada 3—6 jam pertama laju rembesan air keluar emiter agak cepat, kemudian pada periode 6 jam berikutnya laju rembesan air keluar emiter berlangsung lambat. Selanjutnya, pada periode 12 jam berikutnya laju rembesan air keluar emiter hampir berhenti dengan penambahan diameter dan kedalaman pembasahan tanah hanya 0,27 dan 0,40 cm secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena tanah mempunyai sifat autoregulator terhadap resapan air.



Kadar Air Tanah di Sekitar Emiter
Hasil pengukuran kadar air di sekitar emiter dengan diameter pembasahan 20 cm pada kedalaman lapisan tanah 0—30 cm dapat dilihat pada Tabel 4.



Tabel 4. Kadar air tanah (% berat) dengan irigasi tetes sederhana (ITS) dan gembor

Kedalaman lapisan tanah (cm) Minggu I Minggu II
ITS Gembor ITS Gembor

10 29.60 40.10 25.43 27.67

20 31.68 30.50 27.27 22.94

30 32.06 30.98 27.33 25.00

Rata-rata 31.11 33.86 26.68 25.20









Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata kadar air tanah di daerah perakaran pada kedalaman lapisan tanah 0—30 cm pada minggu I dengan sistem irigasi tetes sederhana
31,11%, sedangkan dengan gembor 33,86%. Hal ini berarti bahwa kadar air tanah di daerah perakaran tanaman masih berada pada kisaran air tanah siap tersedia (23—29%). Kadar air tanah pada minggu kedua dengan kedua sistem irigasi tersebut mengalami penurunan karena semakin bertambahnya kebutuhan air tanaman sawi, namun masih berada pada kisaran air tanah siap tersedia sehingga tanaman sawi masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Produksi sawi
Produksi sawi dengan menggunakan irigasi tetes sederhana dan gembor dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi sawi dengan menggunakan irigasi tetes sederhana tidak berbeda nyata dengan kontrol berdasarkan uji t pada taraf nyata 5%. Produksi sawi yang diperoleh pada kedua perlakuan irigasi di atas tergolong baik atau memuaskan.

Tabel 5. Rata-rata roduksi sawi, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun

selama penelitian


Perlakuan Irigasi Berat sawi Tinggi tana- Jumlah Panjang Lebar
(g/tanaman) man (cm) daun daun daun (cm)
(cm)
Irigasi tetes sederhana 120,1 47,5 9,9 27,0 18,6

Kontrol (gembor) 116,3 47,6 8,4 24,5 16,7




Pemakaian air irigasi
Air irigasi diberikan setiap hari pada sistem irigasi tetes sederhana dengan volume 0,65 liter dan 3 hari sekali untuk volume 1,5 liter selama penelitian. Jumlah pemakaian air pada tanaman sawi selama penelitian dengan irigasi tetes sederhana rata-rata 1,90 liter/tanaman

(hanya 51,21% dari irigasi gembor). Sedangkan dengan irigasi gembor sebanyak 3,71

liter/tanaman. Hal ini berari bahwa dengan irigasi tetes sederhana dapat dihemat air sebesar
48,79% jika dibandingkan dengan irigasi gembor yang umum digunakan oleh petani. Produktivitas air.











Produktivitas air tanaman sawi dengan sistem irigasi tetes sederhana mencapai 63,43 kg sawi / m3 air, sedangkan dengan irigasi gembor hanya 31,38%. Dengan sistem irigasi tetes sederhana setiap 1 m3 air yang digunakan untuk tanaman sawi akan dihasilkan sawi sebanyak
63,43 kg, sedangkan dengan sistem gembor hanya sebanyak 31,38 kg. Dilihat dari produksi sawi yang dihasilkan pada kedua cara irigasi tersebut di atas tidak berbeda nyata, hal ini berarti bahwa jumlah air yang diberikan ke tanaman sawi tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah
sawi yang dihasilkan. Dalam praktik pengelolaan air irigasi di lahan kering, yang penting adalah bagaimana mempertahankan aras kadar air tanah di daerah perakaran masih berada pada aras kadar air tanah siap tersedia sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik tanpa mengalami cekaman air (water stress).




























4. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa sistem irigasi tetes sederhana dengan komposisi bahan emiter 65% tanah liat, pasir 17,5%, dan serbuk gergaji
17,5% dapat digunakan untuk tanaman sawi dengan kinerja yang baik. Kinerja sistem irigasi ini meliputi produktivitas air tanaman sawi sebesar 63,43 kg / m3 air, kadar air tanah di daerah perakaran berada pada kisaran air tanah siap tersedia, dan penggunaan air dapat dihemat

48,79%.



























































































DAFTAR PUSTAKA




Doorenbos, J., and A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO.of The United Nations. Rome. P. 1—117.

Edwar S. 2000. Kinerja sistem irigasi kendi untuk tanaman di daerah kering. Disertasi
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. P. 1—123.

Idrus, M., Suprapto, dan E. Maulana. 2004. Penerapan Alat Irigasi Emiter Kendi Untuk Tanaman Budidaya Tomat. Jurnal Pertanian Terapan. Vol. IV No. 1, Januari 2004. Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Lampung. Bandar Lampung.

Idrus, M., Suprapto, dan E. Maulana. 2005. Rancang bangun alat Irigasi emiter kendi dengan berbagai persentase campuran bahan kendi untuk tanaman semangka. Jurnal Pertanian Terapan. Vol. V No. 2, Mei 2005. Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Politeknik Negeri Lampung. Bandar Lampung.

Kurnia, U. Dan A. Hidayat. 2001. Potensi, peluang dan pemanfaatan lahan kering untuk peningkatan produksi pangan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Konsultatif Sumberdaya Lahan dan Air. Direktorat Perluasan Areal, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta 11 Juni 2001.

Pawitan, H. 1999. Mengantisipasi krisis air nasional memasuki abad 21. Makalah utama pada seminar ”Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azasi Manusia” Masyarakat Hidrologi Indonesia, di Bogor 25 Februari 1999. 15 hlm.

Prabowo, A, B.M.J. Tjaturetno, S. Budi, dan A. Ahmad. 2006. Pengembangan sistem irigasi mikro untuk greenhouse dan lapang. Laporan Penelitian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Serpong.

Setiawan, B.I. dan Edwar S. 1997. Peluang aplikasi irigasi kendi di daerah kering. Makalah Pendukung pada Seminar Nasional “Pengelolaan Lingkungan yang Berkelanjutan Melalui Pemasyarakatan Gerakan Hemat Air” di Jakarta Tanggal 20 Maret 1997. Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Pengairan, Jakarta.

Setiawan, B.I. 1998. Sistem irigasi kendi untuk tanaman sayuran di daerah kering. Laporan
Riset Unggulan Terpadu IV. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
125 hlm.

Karya Tulis Pendaftaran TPM BAPPEDA

Posted by makalah | | Category: | 0 komentar

I. PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang


Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada realitas sistem irigasi yang telah ada.

Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi merupakan suatu realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja. Begitu pula sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari berbagai faktor, yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada.

Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitaspembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada berbagai faktor di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role sharing ) dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.

Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal 13 sampai dengan pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa.



1


Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi irigasi, secara khusus pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang di penjelasan diuraikan bahwa daerah irigasi dengan luas kurang dari 1000 hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan luas areal 1000 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000 hektar dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000 hektar, atau daerah irigasi yang lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis nasional serta lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006 tentang Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwa ”pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Beberapa regulasi yang disebutkan di atas merupakan acuan dasar, sehingga pemerintah mengembangkan program keirigasian yang disebut Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif/PPSIP”. Akan tetapi dari Laporan Kajian Pembangian Urusan dalam PPSIP dari BAPPENAS (Anonymous, 2007) dan Lembaran Kesepakatan Rapat Pembagian Peran pelaksanaan program PPSIP, tanggal 21 Juni

2006, tampak tersurat bahwa pembagian peran yang diatur hanya antar instansi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Sedangkan peran bagi masyarakat petani sama sekali tidak disebutkan. Ironisnya kebijakan keirigasian sesuai PP No. 20/2006 justru disebut sebagai aktivitas Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.



I.2 Tujuan


a. Agar dapat mengetahui Irigasi pada Bidang pertanian

2

b. Agar dapat memberikan wawasan kepada para pembaca tentang pengembangan dan pengelolaan irigasi khususnya bagi para petani.

II. PEMBAHASAN


2.1 Definisi Sapta Usaha Tani


Sapta Usaha Tani adalah kiat-kiat/cara-cara yang digunakan oleh petani pada tanaman padi untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas dan baik.
Pada akhir-akhir ini pemerintah sering sekali mengambil tindakan untuk mengimport beras dari luar negeri. Itu semua dikarenakan hasil panen yang kurang baik dari petani lokal. Dan itu semua membuat para petani lokal menjadi kalah bersaing, dan mau tidak mau para petani lokal harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih murah agar tidak kalah bersaing dengan beras import. Oleh karena itu agar dapat memperoleh hasil panen yang baik dan bermutu tinggi dan supaya tidak kalah bersaing dengan beras import, para petani melakukan suatu kiat-kiat yang sering kita sebut sebagai sapta usaha tani, yang terdiri dari :


A. Pemilihan Bibit Unggul
B. Pengolahan Tanah secara baik
C. Pemupukan yang tepat
D. Pengairan (Irigasi) yang baik
E. Pemberentasan Hama
F. Pasca panen
G. Pemasaran yang baik

Dan berikut ini adalah cara-cara untuk melaksanakan tahapan-tahapan dari hal-hal tersebut :

2.2 Pengolahan tanah secara baik

Proses kedua yang dilakukan pada sapta usaha tani adalah pengolahan tanah secara baik. Mengolah tanah bertujuan agar tanah yang ditanami dapat menumbuhkan tanaman secara baik dan membuahkan hasil yang berlimpah. Sebagai masyarakat agraris, bangsa Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal cara-cara mengolah tanah agar mendapatkan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beberpa alat sederhana yang dulu digunakan diantaranya : cangkul, garu, garu tangan, bajak, landak, dan lain sebagainya.



3


Makin maju peradaban manusia, makin canggih pula alat alat-alat dan teknik yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Pada zaman yang makin maju dewasa ini, pemakaian cangkul dan bajak sebagai alat untuk membalik tanah agar tanah menjadi gembur telah diganti dengan pemakaian traktor. Dengan demikian bercocok tanam di sawah lebih ringan, cepat, mudah dan hasilnya lebih sempurna. Namun, traktor juga mempunyai dampak negatif pada tanah yang dibajak, diantaranya : bajak yang terdapat pada traktor tidak dapat membalik tanah dengan sempurna dan bahan bakar minyak yang digunakan pada traktor dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.


2.3 Kriteria tanah yang baik


Dikarenakan hasil panen juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka kita harus memilih tanah yang baik. Berikut ini adalah syarat-syarat tanah yang baik adalah :


1. Memilik cukup rongga udara, gembur, dan tidak padat;
2. Mengandung banyak unsur organik;
3. banyak mengandung mineral dan unsur hara;
4. Mampu menahan air;
5. Memiliki kadar asam dan basa tertentu.


2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik

Tahap keempat dalam sapta usaha tani adalah pangairan.Untuk meningkatkan produksi perlu diatur sistem irigasi atau pengairan yang baik karena air merupakan kebutuhan vital bagi tanaman.

Selain membantu pertumbuhan tanaman secara langsung, air bagi lahan petanian juga berfungsi membantu mengurangi atau menambah kesamaan tanah. Air membantu pelarutan garam-garam mineral yang sangat diperlukam oleh tumbuhan. Akar tumbuhan menyerap garam-garam mineral dari dalam tanah dalam bentuk larutan.


Pemberian air atau pengairan pada tumbuhan padi tidak boleh terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Jika air yang diberikan terlalu banyak akan mengakibatkan pupuk atau zat makanan disekitar tanaman akan hilang terbawa oleh air. Sebaliknya, jika terlalu sedikit tumbuhan akan mati karena tidak mendapatkan air.



4



2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP


Upaya untuk membangun kesepakatan dalam pembagian peran.urusan antar berbagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan PPSIP merupakan upaya yang baik sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan kerja yang koordinatif dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Pendekatan ini dapat dijadikan terobosan dalam mengatasi kelemahan dalam koordeinasi di tingkat pemerintah yang selama ini sering menjadi penyebab kegagalan suatu program atau proyek pemerintah.

Akan tetapi upaya ini perlu dijadikan momentum bagi semua pihak yang terkait dalam pembahasan ”role sharing” pelaksanaan PPSIP, bahwa dalam membagi peran dan urusan keirigasian tidak hanya menjadi urusan pemerintah dan pemerintah daerah. Akan tetapi organisasi petani secara legal dan secara faktual herus diberi peran/urusan sesuai dengan tingkat kemampuanya. Oleh karena itu pemerintah perlu menempatkan pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma pendekatan pembangunan dalam pelaksanaan PPSIP. Apalagi program keirigasian ini juga menggunakan tema partisipatitif”, sehingga sangat wajar jika setiap tahap pelaksanaan kegiatan pemerintah mampu memberi ruang partisipasi organisasi petani.

Salah satu usaha yang terkait dengan pembahasan pembagian urusan ini yaitu menempatkan organisasi petani yang mempunyai peran dan urusan yang dalam implementasinya juga didukung oleh pembiayaan dari pemerintah, dalam mengimplementasikan peran/urusan tersebut. Sudah banyak pengalaman dan pelajaran bagaimana jika kegiatan keirigasian tidak menempatkan organisasi petani sebagai subyek. Maka kegagalan program dan keberlanjutan program menjadi persoalan ketika kegiatan masih berjala, apalagi ketika program sudah selesai.

Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu segera mereposisi organisasi petani dalam implementasi PPSIP yaitu pertama, pemerintah memasukkan institusi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) sebagai pihak yang memiliki peran/urusan bukan wewenang dalam pelaksanaan PPSIP; dan kedua, pemerintah juga mengalokasikan dana atau anggaran bagi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) untuk menjalankan peran atau urusan yang diberikan kepada organisasi petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan upaya nyata menempatkan organisasi petani sebagai subyek pembangunan pada tingkat tertentu ( LP3ES, 2001).



5


Bentuk pemberdayaan ini sudah dilakukan di beberapa proyek pemerintah yang ada dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM.

Pemberdayaan masyarakat merupakan ruh atau nyawa dalam pelaksanaan PPSIP. Oleh karenanya sudah seharusnya setiap jenis kegiatan yang diimplementasikan selalu berorientasi kepada hasil yang memberdayakan masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP hanya untuk ”pemberdayaan birokrasi” pemerintah.

2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan

Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai negara berkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang menyatakan bahwa kelangkaan air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun kualitatif disebabkan oleh manajemen (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh kedua pakar tersebut sebagai berikut:

“Although the nature and severity of water problems are different from country to country, one aspect is common to most countries; water scarcity whether quantitative, qualitative, or bothoriginates more from inefficient use and poor management than any real physical limits on supply augmentation.

Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang diselenggarakan oleh BAPPENAS-RI.

Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yang tersedia. Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan) primer, sekunder, tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut merupakan jalinan sistemik yang terpadu keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief, Roestam,: 2005).

Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):



6


Aliran Sungai dan Batas Administratif daerah otonom

Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)

Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang (ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori tertentu dalam sebuah wilayah negara. Antara jenjang yang satu dengan yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisah-pisahkan.

Dibutuhkan satu manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut yang terjadi ada di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat di-attach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam sistem pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang bersinggungan.



7


2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi

Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahan menggunakan dasar tingkatan daerah irigasi sebagai cara untuk mendistribusikan urusan-urusan tersebut dari berbagai jenjang (tingkatan) Pemerintahan dari sudut pandang teritorial semata. Oleh karena pemerintahan teritorial tersusun atas Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga kecataman dan Desa/ kelurahan atau yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang dengan bersandar pada karakter jenjang pemerintahan tersebut.

Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter hidrologis dan karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat digambarkan bahwa urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir dalam pengelolaan irigasi ini. Untuk itu, selalu ada urusan dalam bidang irigasi ini yang dikembangkan secara sentralistik.

Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah dan seterusnya di jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi Primer dan Sekunder sebatas dalam lingkup teritorinya. Jika terdapat daerah irigasi yang melebihi jangkauan Kabupaten/ kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai kriteria eksternalitas dan akuntabilitas dalam distribusi urusan pemerintahan.

McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi bukan saja kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata), melainkan dapat pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagai berikut:

Two important levels of devolution have evolved in water services management; devolution to local governments, and devolution to community based user groups. The later is more common and, depending on the country, is often incorporated into the first type.



8


Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negara terutama negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut ke dalam sistem yang pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama desentralisasi teritorial, yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut menambahkan penjelasannya sebagai berikut:

The new push toward participatory management process has enabled decentralization to user groups. These groups comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically feasible options, consider capital and recurrent cost implications, make choices, and then manage systems. The approach pays dividends for both government and communities; communities get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance (O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural water supply and sanitation. Generally they are referred to as water users associations

(WUAs) in the former and water and sanitation committees (WSCs) in the latte.

Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jika organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsung dari Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalam sebuah tabel kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam 6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya dikelola oleh asosiasi pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika pada model ke-enam yakni WUA/WSC full control dimana aktivitas sepenuhnya dilakukan organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategori desentralisasi fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika pemerintah secara langsung, maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.



9


Gambar 1. Bagan alir prosedur penelitian

mm, tebal dinding emiter silinder 48 mm, dan diameter dalam (rongga) 9,4—17,4 mm. Rancangan emiter silinder dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rancangaan emiter silinder dengan ketebalan dinding 8 mm



10



Rancang bangun irigasi tetes sederhana dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rancang bangun irigasi tetes sederhana

2. Pengujian kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Laboratorium

Pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium untuk memilih komposisi campuran bahan emiter dan ketebalan dinding emiter yang menghasilkan debit mendekati kebutuhan air 4 tanaman sawi sebesar 1,1 liter hari-1. Peubah yang diamati dalam pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium adalah debit air yang keluar emiter, kedalaman dan diameter pembasahan tanah di sekitar emiter.

3. Pengujian Kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Lahan

Pengujian irigasi tetes sederhana dilahan dengan tanaman indikator sawi cina (caisim). Benih sawi disemai dalam media semai dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Pada umur umur bibit sawi 10 hari dilakukan penanaman di bedengan dengan jarak tanam 20 cm antar barisan dan 10 cm dalam barisan. Bibit sawi di tanam di sekeliling alat irigasi tetes sederhana. Satu unit irigasi tetes sederhana mengairi 4 tanaman sawi. Tata letak tanaman sawi dan alat irigasi tetes sederhana di bedengan dapat dilihat pada Gambar 4.

Pupuk kandang diberikan sebanyak 10 kg/m2 yang ditaburkan secara merata bersamaan dengan pupuk Urea, Sp36, dan KCl masing-masing sebanyak 10, 15, 7.5 gram/m2 dan dibiarkan

± 7 hari sebelum tanam.



11


Pemberian air irigasi dilakukan melalui alat irigasi setiap hari pada sore hari dari setelah tanam sampai menjelang panen. Volume air yang diberikan setiap hari melalui air irigasi yaitu

0,6 liter.

Peubah yang diamati pada pengujian alat irigasi tetes sederhana di lahan yaitu, jumlah pemakaian air irigasi, kadar air tanah di daerah perakaran, produksi sawi, dan produktivitas air tanaman sawi.

Gambar 4. Tata letak irigasi tetes sederhana dan tanaman sawi yang baru

ditanam pada bedengan



12



III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Dari beberapa langkah diatas dapat kita membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Para petani dapat meningkatkan hasil panen padi dengan menggunakan atau menerapkan program Sapta Usaha Tani. Program Sapta Usaha Tani harus dilaksanakan secara berurutan menurut urut-urutannya agar memperoleh hasil yang baik dan memuaskan.

3.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mrnanggapi pokok permasalahan seperti diatas antara lain :

Pemerintah harusnya lebih mementingkan kepentingan petani dalam negeri mengingat negara kita merupakan negara agraris. Pengairan seharusnya dapat memenuhi kebutuhan didalam pengembangan dan meningkatkan kualitas dari para petani dalam negeri.





13


DAFTAR PUSTAKA

Wilarso, Joko. 2002. Biologi kelas 3 SMP. Surakarta: Pabelan

Atmanto, Sudar Dwi (Edit). Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan

Kesejahteraan dan Kemandirian Petani. PSDAL-LP3ES. 2004.

Anonymous. Transparansi Pembangunan. Beberapa Pengalaman Program Pengembangan Kecamatan. Pengalaman Media Masa Dalam Pemantauan.. CESDA-LP3ES. 2001.

Ostrom V. Policentricity and Local Public Economic. The University of Michigan Press. Ann-Arbor. 1999.

Pasandaran, Effendi. Pembangunan Irigasi Masa Depan. Pendekatan Arus Balik Dalam Pengelolaan Irigasi. Paper untuk Bahan Sarasehan di Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia JKI-Indonesia). 2006.

Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Dari Zaman Revolosi sampai dengan Orde Baru. Prisma-LP3ES, No.8/Tahun 1989. 1989.

14

















KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN ”.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.

Makassar, Juli 2009

Penulis



i


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.................................................................................... …………. i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ………… ii

BAB I PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG ....................................................... ………… 1

I.2 Tujuan …………………………………………………..... …………2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... ………… 3

2.1 Definisi Sapta Usaha Tani………………………………………….....3

2.2 Pengolahan tanah secara baik PEMBERDAYAAN………………….3

2.3 Kriteria tanah yang baik MASYARAKAT DALAM PPSIP…………4

2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik.............................................. …………4

2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP.................. …………5

2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan……....6

2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi……………………………...8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................... ………..13

3.2saran........................................................................................ ………..13

DAFTAR PUSTAKA…………..................................................................... ………..14



ii


UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN

O

L

E

H


HARIYANTO ROSLAN

JL. LANTO DG PASEWANG NO. 15A