Sabtu, 25 Juli 2009

Karya Tulis Pendaftaran TPM BAPPEDA

Posted by makalah | Sabtu, 25 Juli 2009 | Category: |

I. PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang


Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada realitas sistem irigasi yang telah ada.

Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi merupakan suatu realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja. Begitu pula sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari berbagai faktor, yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada.

Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitaspembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada berbagai faktor di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role sharing ) dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.

Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal 13 sampai dengan pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa.



1


Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi irigasi, secara khusus pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang di penjelasan diuraikan bahwa daerah irigasi dengan luas kurang dari 1000 hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan luas areal 1000 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000 hektar dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000 hektar, atau daerah irigasi yang lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis nasional serta lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006 tentang Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwa ”pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Beberapa regulasi yang disebutkan di atas merupakan acuan dasar, sehingga pemerintah mengembangkan program keirigasian yang disebut Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif/PPSIP”. Akan tetapi dari Laporan Kajian Pembangian Urusan dalam PPSIP dari BAPPENAS (Anonymous, 2007) dan Lembaran Kesepakatan Rapat Pembagian Peran pelaksanaan program PPSIP, tanggal 21 Juni

2006, tampak tersurat bahwa pembagian peran yang diatur hanya antar instansi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Sedangkan peran bagi masyarakat petani sama sekali tidak disebutkan. Ironisnya kebijakan keirigasian sesuai PP No. 20/2006 justru disebut sebagai aktivitas Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.



I.2 Tujuan


a. Agar dapat mengetahui Irigasi pada Bidang pertanian

2

b. Agar dapat memberikan wawasan kepada para pembaca tentang pengembangan dan pengelolaan irigasi khususnya bagi para petani.

II. PEMBAHASAN


2.1 Definisi Sapta Usaha Tani


Sapta Usaha Tani adalah kiat-kiat/cara-cara yang digunakan oleh petani pada tanaman padi untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas dan baik.
Pada akhir-akhir ini pemerintah sering sekali mengambil tindakan untuk mengimport beras dari luar negeri. Itu semua dikarenakan hasil panen yang kurang baik dari petani lokal. Dan itu semua membuat para petani lokal menjadi kalah bersaing, dan mau tidak mau para petani lokal harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih murah agar tidak kalah bersaing dengan beras import. Oleh karena itu agar dapat memperoleh hasil panen yang baik dan bermutu tinggi dan supaya tidak kalah bersaing dengan beras import, para petani melakukan suatu kiat-kiat yang sering kita sebut sebagai sapta usaha tani, yang terdiri dari :


A. Pemilihan Bibit Unggul
B. Pengolahan Tanah secara baik
C. Pemupukan yang tepat
D. Pengairan (Irigasi) yang baik
E. Pemberentasan Hama
F. Pasca panen
G. Pemasaran yang baik

Dan berikut ini adalah cara-cara untuk melaksanakan tahapan-tahapan dari hal-hal tersebut :

2.2 Pengolahan tanah secara baik

Proses kedua yang dilakukan pada sapta usaha tani adalah pengolahan tanah secara baik. Mengolah tanah bertujuan agar tanah yang ditanami dapat menumbuhkan tanaman secara baik dan membuahkan hasil yang berlimpah. Sebagai masyarakat agraris, bangsa Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal cara-cara mengolah tanah agar mendapatkan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beberpa alat sederhana yang dulu digunakan diantaranya : cangkul, garu, garu tangan, bajak, landak, dan lain sebagainya.



3


Makin maju peradaban manusia, makin canggih pula alat alat-alat dan teknik yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Pada zaman yang makin maju dewasa ini, pemakaian cangkul dan bajak sebagai alat untuk membalik tanah agar tanah menjadi gembur telah diganti dengan pemakaian traktor. Dengan demikian bercocok tanam di sawah lebih ringan, cepat, mudah dan hasilnya lebih sempurna. Namun, traktor juga mempunyai dampak negatif pada tanah yang dibajak, diantaranya : bajak yang terdapat pada traktor tidak dapat membalik tanah dengan sempurna dan bahan bakar minyak yang digunakan pada traktor dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.


2.3 Kriteria tanah yang baik


Dikarenakan hasil panen juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka kita harus memilih tanah yang baik. Berikut ini adalah syarat-syarat tanah yang baik adalah :


1. Memilik cukup rongga udara, gembur, dan tidak padat;
2. Mengandung banyak unsur organik;
3. banyak mengandung mineral dan unsur hara;
4. Mampu menahan air;
5. Memiliki kadar asam dan basa tertentu.


2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik

Tahap keempat dalam sapta usaha tani adalah pangairan.Untuk meningkatkan produksi perlu diatur sistem irigasi atau pengairan yang baik karena air merupakan kebutuhan vital bagi tanaman.

Selain membantu pertumbuhan tanaman secara langsung, air bagi lahan petanian juga berfungsi membantu mengurangi atau menambah kesamaan tanah. Air membantu pelarutan garam-garam mineral yang sangat diperlukam oleh tumbuhan. Akar tumbuhan menyerap garam-garam mineral dari dalam tanah dalam bentuk larutan.


Pemberian air atau pengairan pada tumbuhan padi tidak boleh terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Jika air yang diberikan terlalu banyak akan mengakibatkan pupuk atau zat makanan disekitar tanaman akan hilang terbawa oleh air. Sebaliknya, jika terlalu sedikit tumbuhan akan mati karena tidak mendapatkan air.



4



2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP


Upaya untuk membangun kesepakatan dalam pembagian peran.urusan antar berbagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan PPSIP merupakan upaya yang baik sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan kerja yang koordinatif dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Pendekatan ini dapat dijadikan terobosan dalam mengatasi kelemahan dalam koordeinasi di tingkat pemerintah yang selama ini sering menjadi penyebab kegagalan suatu program atau proyek pemerintah.

Akan tetapi upaya ini perlu dijadikan momentum bagi semua pihak yang terkait dalam pembahasan ”role sharing” pelaksanaan PPSIP, bahwa dalam membagi peran dan urusan keirigasian tidak hanya menjadi urusan pemerintah dan pemerintah daerah. Akan tetapi organisasi petani secara legal dan secara faktual herus diberi peran/urusan sesuai dengan tingkat kemampuanya. Oleh karena itu pemerintah perlu menempatkan pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma pendekatan pembangunan dalam pelaksanaan PPSIP. Apalagi program keirigasian ini juga menggunakan tema partisipatitif”, sehingga sangat wajar jika setiap tahap pelaksanaan kegiatan pemerintah mampu memberi ruang partisipasi organisasi petani.

Salah satu usaha yang terkait dengan pembahasan pembagian urusan ini yaitu menempatkan organisasi petani yang mempunyai peran dan urusan yang dalam implementasinya juga didukung oleh pembiayaan dari pemerintah, dalam mengimplementasikan peran/urusan tersebut. Sudah banyak pengalaman dan pelajaran bagaimana jika kegiatan keirigasian tidak menempatkan organisasi petani sebagai subyek. Maka kegagalan program dan keberlanjutan program menjadi persoalan ketika kegiatan masih berjala, apalagi ketika program sudah selesai.

Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu segera mereposisi organisasi petani dalam implementasi PPSIP yaitu pertama, pemerintah memasukkan institusi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) sebagai pihak yang memiliki peran/urusan bukan wewenang dalam pelaksanaan PPSIP; dan kedua, pemerintah juga mengalokasikan dana atau anggaran bagi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) untuk menjalankan peran atau urusan yang diberikan kepada organisasi petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan upaya nyata menempatkan organisasi petani sebagai subyek pembangunan pada tingkat tertentu ( LP3ES, 2001).



5


Bentuk pemberdayaan ini sudah dilakukan di beberapa proyek pemerintah yang ada dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM.

Pemberdayaan masyarakat merupakan ruh atau nyawa dalam pelaksanaan PPSIP. Oleh karenanya sudah seharusnya setiap jenis kegiatan yang diimplementasikan selalu berorientasi kepada hasil yang memberdayakan masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP hanya untuk ”pemberdayaan birokrasi” pemerintah.

2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan

Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai negara berkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang menyatakan bahwa kelangkaan air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun kualitatif disebabkan oleh manajemen (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh kedua pakar tersebut sebagai berikut:

“Although the nature and severity of water problems are different from country to country, one aspect is common to most countries; water scarcity whether quantitative, qualitative, or bothoriginates more from inefficient use and poor management than any real physical limits on supply augmentation.

Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang diselenggarakan oleh BAPPENAS-RI.

Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yang tersedia. Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan) primer, sekunder, tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut merupakan jalinan sistemik yang terpadu keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief, Roestam,: 2005).

Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):



6


Aliran Sungai dan Batas Administratif daerah otonom

Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)

Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang (ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori tertentu dalam sebuah wilayah negara. Antara jenjang yang satu dengan yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisah-pisahkan.

Dibutuhkan satu manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut yang terjadi ada di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat di-attach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam sistem pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang bersinggungan.



7


2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi

Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahan menggunakan dasar tingkatan daerah irigasi sebagai cara untuk mendistribusikan urusan-urusan tersebut dari berbagai jenjang (tingkatan) Pemerintahan dari sudut pandang teritorial semata. Oleh karena pemerintahan teritorial tersusun atas Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga kecataman dan Desa/ kelurahan atau yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang dengan bersandar pada karakter jenjang pemerintahan tersebut.

Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter hidrologis dan karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat digambarkan bahwa urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir dalam pengelolaan irigasi ini. Untuk itu, selalu ada urusan dalam bidang irigasi ini yang dikembangkan secara sentralistik.

Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah dan seterusnya di jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi Primer dan Sekunder sebatas dalam lingkup teritorinya. Jika terdapat daerah irigasi yang melebihi jangkauan Kabupaten/ kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai kriteria eksternalitas dan akuntabilitas dalam distribusi urusan pemerintahan.

McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi bukan saja kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata), melainkan dapat pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagai berikut:

Two important levels of devolution have evolved in water services management; devolution to local governments, and devolution to community based user groups. The later is more common and, depending on the country, is often incorporated into the first type.



8


Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negara terutama negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut ke dalam sistem yang pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama desentralisasi teritorial, yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut menambahkan penjelasannya sebagai berikut:

The new push toward participatory management process has enabled decentralization to user groups. These groups comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically feasible options, consider capital and recurrent cost implications, make choices, and then manage systems. The approach pays dividends for both government and communities; communities get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance (O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural water supply and sanitation. Generally they are referred to as water users associations

(WUAs) in the former and water and sanitation committees (WSCs) in the latte.

Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jika organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsung dari Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalam sebuah tabel kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam 6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya dikelola oleh asosiasi pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika pada model ke-enam yakni WUA/WSC full control dimana aktivitas sepenuhnya dilakukan organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategori desentralisasi fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika pemerintah secara langsung, maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.



9


Gambar 1. Bagan alir prosedur penelitian

mm, tebal dinding emiter silinder 48 mm, dan diameter dalam (rongga) 9,4—17,4 mm. Rancangan emiter silinder dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Rancangaan emiter silinder dengan ketebalan dinding 8 mm



10



Rancang bangun irigasi tetes sederhana dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rancang bangun irigasi tetes sederhana

2. Pengujian kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Laboratorium

Pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium untuk memilih komposisi campuran bahan emiter dan ketebalan dinding emiter yang menghasilkan debit mendekati kebutuhan air 4 tanaman sawi sebesar 1,1 liter hari-1. Peubah yang diamati dalam pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium adalah debit air yang keluar emiter, kedalaman dan diameter pembasahan tanah di sekitar emiter.

3. Pengujian Kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Lahan

Pengujian irigasi tetes sederhana dilahan dengan tanaman indikator sawi cina (caisim). Benih sawi disemai dalam media semai dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Pada umur umur bibit sawi 10 hari dilakukan penanaman di bedengan dengan jarak tanam 20 cm antar barisan dan 10 cm dalam barisan. Bibit sawi di tanam di sekeliling alat irigasi tetes sederhana. Satu unit irigasi tetes sederhana mengairi 4 tanaman sawi. Tata letak tanaman sawi dan alat irigasi tetes sederhana di bedengan dapat dilihat pada Gambar 4.

Pupuk kandang diberikan sebanyak 10 kg/m2 yang ditaburkan secara merata bersamaan dengan pupuk Urea, Sp36, dan KCl masing-masing sebanyak 10, 15, 7.5 gram/m2 dan dibiarkan

± 7 hari sebelum tanam.



11


Pemberian air irigasi dilakukan melalui alat irigasi setiap hari pada sore hari dari setelah tanam sampai menjelang panen. Volume air yang diberikan setiap hari melalui air irigasi yaitu

0,6 liter.

Peubah yang diamati pada pengujian alat irigasi tetes sederhana di lahan yaitu, jumlah pemakaian air irigasi, kadar air tanah di daerah perakaran, produksi sawi, dan produktivitas air tanaman sawi.

Gambar 4. Tata letak irigasi tetes sederhana dan tanaman sawi yang baru

ditanam pada bedengan



12



III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Dari beberapa langkah diatas dapat kita membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Para petani dapat meningkatkan hasil panen padi dengan menggunakan atau menerapkan program Sapta Usaha Tani. Program Sapta Usaha Tani harus dilaksanakan secara berurutan menurut urut-urutannya agar memperoleh hasil yang baik dan memuaskan.

3.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mrnanggapi pokok permasalahan seperti diatas antara lain :

Pemerintah harusnya lebih mementingkan kepentingan petani dalam negeri mengingat negara kita merupakan negara agraris. Pengairan seharusnya dapat memenuhi kebutuhan didalam pengembangan dan meningkatkan kualitas dari para petani dalam negeri.





13


DAFTAR PUSTAKA

Wilarso, Joko. 2002. Biologi kelas 3 SMP. Surakarta: Pabelan

Atmanto, Sudar Dwi (Edit). Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan

Kesejahteraan dan Kemandirian Petani. PSDAL-LP3ES. 2004.

Anonymous. Transparansi Pembangunan. Beberapa Pengalaman Program Pengembangan Kecamatan. Pengalaman Media Masa Dalam Pemantauan.. CESDA-LP3ES. 2001.

Ostrom V. Policentricity and Local Public Economic. The University of Michigan Press. Ann-Arbor. 1999.

Pasandaran, Effendi. Pembangunan Irigasi Masa Depan. Pendekatan Arus Balik Dalam Pengelolaan Irigasi. Paper untuk Bahan Sarasehan di Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia JKI-Indonesia). 2006.

Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Dari Zaman Revolosi sampai dengan Orde Baru. Prisma-LP3ES, No.8/Tahun 1989. 1989.

14

















KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN ”.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.

Makassar, Juli 2009

Penulis



i


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.................................................................................... …………. i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ………… ii

BAB I PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG ....................................................... ………… 1

I.2 Tujuan …………………………………………………..... …………2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... ………… 3

2.1 Definisi Sapta Usaha Tani………………………………………….....3

2.2 Pengolahan tanah secara baik PEMBERDAYAAN………………….3

2.3 Kriteria tanah yang baik MASYARAKAT DALAM PPSIP…………4

2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik.............................................. …………4

2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP.................. …………5

2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan……....6

2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi……………………………...8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................... ………..13

3.2saran........................................................................................ ………..13

DAFTAR PUSTAKA…………..................................................................... ………..14



ii


UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN

O

L

E

H


HARIYANTO ROSLAN

JL. LANTO DG PASEWANG NO. 15A



Currently have 0 komentar:


Leave a Reply